MA Balekambang Juara I Lomba Mading Festival Pelajar Jawa Pos

IMG_8848

Lima  pelajar putri dari MA Roudlotul Mubtadiin bersemangat merangkai majalah dinding (mading) mereka. Nuansa hijau menjadi pilihannya. Mereka menyisipkan konsep alam dalam tema utama Pejuang Pena. Tokoh penulis inspiratif Gusdur pun dimunculkan dalam karyanya.

Sejumlah artikel, cerpen, sastra, dan beberapa unsur mading lainnya dipasangi satu per satu. Setelah jadi, mading tersebut langsung dipajang. Dewan juri memberi nilai lebih kepada karya siswa Balekambang ini. Mereka pun menjadi juara I dalam lomba mading Festival pelajar 2015.

Lima pelajar itu, Riska Aristiantika, Ulfi Apriliani, Khafidlotul Ma’wa, Alfia Rohmah, serta Dewi Ayu Santika. Tiga diantaranya siswi kelas XII, sementara dua lainnya siswi kelas XI di sekolah itu.

Bahan didapatkan dari Nitip Ortu yang Jenguk
Majalah dinding bagi para pelajar di sekolah tersebut bukan hal yang baru. Sejak dua tahun terakhir, di sekolah itu sudah digalakkan pembuatan mading. Setiap pekan sekali, ada penggantian mading secara bergantian per kelas.

IMG_8773Pendamping mading di sekolah itu, Muhammad Ali Subkhan mengatakan, para pelajar di sekolahnya sudah dibiasakan menulis di mading. “Mading di sekolah kami masih dua dimensi. Namun kontennya tetap lengkap. Ada berita, artikel, tulisan sastra, sampai humor. Kami juga melakukan penilaian di akhir semester. Ini untuk memberi apresiasi bagi mading terbaik di sekolah,” katanya.
Untuk lomba kemarin, pihaknya memilih bentuk yang berbeda dari biasanya. Yakni majalah dinding tiga dimensi. “Untuk lomba ini sudah kali kedua kami ikuti. Pertama kami ikut lomba tingkat Jawa Tengah di Unnes, namun hanya masuk 10 besar,” terangnya.
IMG_8783Mengenai persiapan lomba mading di Festival Pelajar 2015 yang diselenggarakan Jawa Pos Radar Kudus Biro Jepara, tim mading hanya melakukan persiapan tiga hari. “Dua hari pertama persiapan siswa lakukan setelah siswa pulang sekolah sampai sore. Untuk hari ketiga, persiapan sehari penuh. Kami mencari referensi gambar-gambar, kemudian diaplikasikan dalam bentuk tiga dimensi,” terangnya.
Awalnya, mereka sempat kesulitan memperoleh bahan untuk membuat mading. Sebab, mereka tinggal di dalam pondok pesantren dan tak bisa dengan bebas keluar. “Kami memperoleh bahan melalui orang tua siswa yang hendak menjenguk ke pondok. Modelnya nitip dibelikan bahan. Bersyukur semua kalangan mendukung,” terangnya. (SM-Ruly)